Ah, Gak Disangka

Namanya Jun. Entahlah Jun apa lengkapnya. Dia punya kelainan jiwa yang membuatnya dijauhi oleh orang sekampung. Mungkin lebih kepada ditakuti karena dia suka main pukul kalau marah, atau mengejar-ngejar orang sambil berteriak kasar.

Tapi dia baik sekali kalau penyakitnya tidak kumat. Ia rela membantu apa saja, siapa saja, dan di mana saja. Angkat-angkat barang, membetulkan genteng bocor, membawakan belanjaan ke warung, dan pekerjaan kasar lainnya yang sangat dibutuhkan ibu-ibu di sini.

Waktu kecil, aku pernah menangis hebat gara-gara dia. Aku tengah bermain saat dia ngamuk-ngamuk. Ia melempar-lemparkan batu kecil di lapangan. Anak-anak kecil berlarian, termasuk aku. Tapi, hidungku terkena lemparan batu itu dan berdarah. Aku langsung pulang sambil menangis. Lalu setelah itu, ummi sangat marah padanya. Sejak itu pula, aku takut dan marah, tapi tak berani.

Minggu lalu saat siap-siap berangkat, seorang laki-laki di depan rumah mendekat takut-takut. Badannya yang kurus berjalan terseok sedikit menanjak ke beranda rumah. Kulit gelapnya terlihat kontras dengan matahari pagi yang ia belakangi. Sosoknya itu sudah lama sekali aku kenal. Tangannya tidak bisa diam. Digoyang-goyangkan, dimasukkan ke dalam kantong celana, dan sesekali menggaruk lagi rambut kusutnya.

“Ada Bapak?” Sambil menggaruk-garuk tangan yang aku kira gak gatal, dia menghampiriku. 

Aku menunjuk ke dalam rumah sambil nyengir-nyengir. Takut sewaktu-waktu dia menjawil tanganku. Jahil atau apa lah.

Ia lalu masuk ke rumah diiringi senyum umi. Aku gak tau dia ngapain aja di dalam. Tak lama, dia keluar rumah. 

“Makasih ya Jun, udah nengok Bapa.”

“Iyah, iya.” Lalu ia pergi. Dia berjalan menjauh dengan langkah ringan.

Kurang dari 5 menit dia di dalam rumah. Aku melihat punggungnya yang kekar-tapi kurus, menjauhi rumahku. Ia berjalan saja. Tanpa menengok lagi.

Pelan-pelan, ada rasa hangat menjalar di dadaku. Merambat sedikit-sedikit sampai membuat bibirku tersenyum. Hangat sekali rasanya. 

Mengenang Cak Nur (Bagian 2)

Aku masuk ke ruangan bersama Rizal. Seorang ibu tua dengan raut muka lembut meminta kami untuk duduk dan menunggu. Ia berlalu meninggalkan kami, yang sedang menerawang ke seisi rumah.

Ada figura berisi lima orang sedang tersenyum: tiga orang lelaki berdiri dan dua perempuan duduk. Ada jam dinding dengan bandul yang masih berfungsi jika waktu menunjukkan pukul 12. Tirai dan warna tembok berwarna putih diselingi hijau muda. Di atas tirai bertengger AC yang suda mati, kurasa. Karena empunya rumah memilih menggunakan kipas angin manual di pojokan sana. Kurasa juga. Rumah yang asri. Rumah yang ditinggalkan.

Ibu berjalan dari sebuah kamar. Daster jingganya menutupi seluruh tubuh rampingnya. Iya, ramping. Tidak kurus, tidak gemuk. Ibu menyapa kami dengan ramah, seperti bertemu anak sendiri. Kami menyalaminya. Detik itu, aku langsung paham. Inilah sosok penyayang di balik sosok Cak Nur.

Ibu berwajah kuning langsat. Rambutnya digerai sebahu. Tampak sedikit uban di atas kepalanya namun tidak menimbulkan pikiran berapa usianya? Wajahnya lembut seperti wanita Jawa pada umumnya. Gerak-geriknya lembut juga. Mungkin karena sakit tua yang diderita. Ia duduk di depan kami, di atas kursi kayu dengan bantalan kecil di belakang pinggangnya.

Aku bertanya kabar dan dijawabnya baik-baik saja. Lalu ia sedikit mengeluh pinggangnya sakit karena sering tidur. Aku tersenyum.

Ibu tertawa kecil. “Saya senang banyak yang meminta cerita pada saya. Ya sudah saya bikin buku saja. Cerita bapak ada di situ semua.

“Tapi saya gak keberatan kalau cerita lagi. Senang malah. Bapak itu banyak yang kenal. Banyak yang datang juga ke bapak. Dari mana-mana. Ngajak ngobrol, diskusi. Saya biarkan saja bapak banyak kedatangan tamu. Suatu hari, saya berdua saja dengan bapak. Anak-anak sudah besar. Sudah bepergian dari rumah. Saya bicara pelan dan lembut padanya …

Bapak banyak tamu, ya jaga badannya. Jaga istirahatnya. Banyak orang baik, banyak juga yang gak baik. Hati-hati sama janji atau penawaran, pak. Kita ya begini saja hidup. Damai.”

“Bagaimana respon bapak, Bu?”

“Ya begitu saja, diam. Saya tau dia berpikir.”

“Mereka tidak mengambil apa-apa dari hidup. Kita hidup untuk orang lain. Kemaslahatan orang lain. Buat apa hidup untuk memikirkan begitu, yang tidak maslahat.”

 

 

 

 

Seems matter?

a love turns 

It turns from the cold into heat

a love makes me anger, turns into invisible.

a love makes me missing someone, then turns into empty room.

a love seems bigger, but grows faster actually.

a love, changed something into feeling.

a love, bringing sense of weakness and power at once.

a love, comes in darkness, lightin’ up the book that once I read that night.

What kinda of love, seems matter?

Mengenang Cak Nur (Bagian 1)

 

“Saya ingat, suatu hari, Bapak berdiri di belakang saya sambil memperhatikan jendela yang kena cipratan air hujan di luar. Ada seekor cicak menempel di atasnya. Cicak itu menoleh ke arahku dan menoleh lagi ke arah lain seakan tak peduli. “Pernahkah kamu berpikir, bagaimana darah bisa mengalir dalam tubuh kecilnya?” tanyanya. Saya lalu tersenyum dan menggeleng. Cuma ia yang bisa berpikir sejauh itu. Sungguh maha kuasa Tuhan, ia bisa mencipta makhluk sekecil apa pun dan bisa membuatnya bertahan hidup.

Saya lalu diam dan menoleh ke wajah Bapak. Wajah suami yang saya sayangi itu. Wajah yang sudah terlihat keriput meski usianya belum mengatakan bahwa ia tua. Ya, terlalu banyak yang Bapak pikirkan di luar sana sehingga kebugaran terengut lebih cepat dari badannya. Kacamata Bapak juga semakin tebal. Kala dia meminta saya untuk membelikannya yang baru dengan tebal yang semakin bertambah.

Dari awal saya mengenalnya sebagai laki-laki yang tidak punya apa-apa. Seorang aktivis kampus yang hidup dari asuhan organisasi dan warna solid persahabatan. Sebagai anak seorang kyai di Jawa, kala itu beberapa laki-laki datang ke rumah dan menghadap ayah saya untuk melamar anak bungsunya. Waktu itu saya masih belasan tahun dan belum mau menikah muda.

Kala itu, saya punya banyak kemauan dan cita-cita dalam hidup. Dunia yang saya bayangkan tidak sebatas pada pernikahan dan apa yang orang katakan yaitu sumur kasur dapur. Kakak-kakak saya terus meledek dan senang sekali melihat pipi saya kemerahan karena malu. Mereka tidak hentinya membicarakan si A yang ganteng, si B yang kaya raya, si C yang pintar dan lainnya.

Lalu bapak datang. Dia sosok pemuda yang berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang datang melamar saya. Dia seperti anak tongkrongan yang kerjaannya diskusi melulu.

Beberapa menit kemudian wawancara terhenti, Ibu tersenyum. Matanya menerawang keluar. Melewati kusen-kusen jendela berwarna putih dan gorden berwarna senada. Ia sedang mengingat-ngingat wajah suaminya, pikirku.

Matanya lalu melihatku. Ia tersenyum lagi dan menggeser sedikit duduknya.

“Ibunda, bagaimana sosok bapak di mata anak-anak?” aku ingin menangkap momen itu. Momen emosional seorang ibu.

“Ketika bapak pulang, ia selau memeluk anak-anaknya dan berkata dengan riang. Ia bercanda seperti ayah pada anak perempuannya, dan banyak bercerita. Ah, pada dasarnya, ia memang suka bercanda. Guyon.

Beliau memanggil asisten rumah tangganya, seorang ibu yang ku kira lebih tua dari pada bu Omi. Ia membawa bantalan kecil dan meletakkannya di dekat pinggang bu Omi.

“Bapak tidak pernah berkata kasar kepada saya. Kepada anak-anaknya. Kepada si mbok. Kepada siapapun. Kata-kata yang dia lontarkan seperti ia pikirkan matang-matang. Sering dia diam di ruang kerja dan tidak ingin diganggu. Ia sedang merenung dan memikirkan solusi buat banyak permasalahan.”

Aku menatap ibu Omi. Ia lembut dan baik budi. Mewarisi darah kyai yang telah turun temurun di keluarganya. Darah orang ningrat, yang selalu berpikiran positif. Namun, tidak terlihat adanya kesan angkuh. Aku beranjak,

“Banyak orang yang melabeli bapak dengan beragam alasan. Bagaimana ibu menanggapi adanya label itu?”

___________

 

 

Tepat dua tahun lalu, Januari 2016, saya diberi kesempatan untuk mewawancarai istri dari alm. Nurkholish Majid, Ibu Omi Komariah Majid.

Cuplikan wawancara ini saya bagi ke dalam beberapa bagian.

Anafora 1

Kata orang, cinta pertama itu susah dilupakan. 

Tapi, ingat umur yang sekarang, sepertinya mustahil jadi cinta pertama seseorang. 

Kata orang, waktu menyembuhkan setiap luka.

Tapi, dunia ini gak punya cukup kapsul waktu untuk menyembuhkan luka di satu perasaan manusia, kurasa.

Jadi, benarlah kata-kata orang bijak dulu, tentang kedamaian dan kearifan hidup.

Jadi, meskipun hidupnya melankolis, disudutkan, dikatakan pembual, dianggap gila, penghayal, tak berguna, namun benarlah isi puisi-puisi penyair yang mereka tulis berdasarkan perasaan yang putih. Karena mereka yang lantang suaranya, berteriak dari atas kursinya yang megah, seringkali bersuara dari mulutnya saja. Tidak melalui proses di hati dan otaknya.

If It’s Love, It’s going to be Live

The sand comes out from my finger, telling that sea calls me out. Too loud. 

I’ve never been in a really peacefull time since that hour. I might be so powerless.

Last time we saw the picture, a perfect laugh we made. But now, I saw it faded.

I’ve been growin’ up as a woman, since the last years you still called me ‘the-last-in-series”. And I made so much spoiled with you and those memories in place and plate. 

You had known me as little girl who lost, and you found me in a warm of friendship and sweet pillow talk. I’ve appreciated each time really.

I just miss it. Every talk we used to do. Every place we visited and the way how we end the meeting. Just us.

The way we chat, celebrating every special moment in our phase in uni, ’till one of us meet whom their love one. Examination in middle year, practical teaching, and the way we end study as collegian. 

Now I have to grow as ‘first-in-decision-maker’ for myself. Not able to be last series again. But for sure, I’ve learnt to be as much as care for sure. From every move in each life, from every ‘goodbye’ word in the evening. 

I’ve just missed it. All of you 😊.

Time Owe Us

I think we need to stop thinking

About what we’ve been talking that night. About trust, parfum, and drizzly rain.

I think we should meet each other, just to remaind what relationship was meant to.

I think we should fight for this so hard, baby. When I knew that thousand reasons you gave me were so ancient. 

I think we should be friends first, just to know that how sweet beginning was. 

We need to love each other properly, because a lot of people now were so wild and full of hatred. 

I think we won’t be angry and miss at the same time, but it was me. Because time has much owes to us.

Cerita Cinta Lama

Pagi-pagi umi sudah mengoceh panjang karena aku bangun kesiangan. Sebenarnya tidak bangun kesiangan pun, umi suka mengomel sih setiap pagi. Apa saja jadi bahan ocehan. Air di kamar mandi yang sering mati, piring kotor yang menumpuk, cucunya yang gak betah di pondok, dan betapa kesalnya dia kalau jumlah rantang tidak utuh dalam satu rangkaian. Dan pagi ini, ada satu bahan omelan paling renyah buatnya dan empuk buatku: anak gadisnya bangun siang. Kurasa itu sebab utama dia kesal.

Siang harinya, umi sudah santai depan televisi sambil makan biskuit. Aku hampiri dia dan nanya basa-basi. Dia menjawab dengan nada biasa saja. Kalau sudah begini, artinya keadaan telah terkendali. Aku lega. Biasanya, jika setelah mengomel di pagi hari, dan masih jutek di siang hingga seharian penuh, itu pertanda buruk. Harus segera instropeksi diri, biar tahu sebab-musababnya. Jangan-jangan ada baju yang belum disetrika, jangan-jangan aku lupa laporan kembalian uang belanja, jangan-jangan. Tapi, siang ini ia tenang sehingga aku lebih tenang.

“Kau tahu, hal apa yang sangat umi tidak sukai?”

“Apa Mi?”

“Tidak minta izin kalau pergi.”

“Lah kan aku selalu minta izin kalau mau pergi.”

“Iya, bagus itu. Cuma mengingatkan.”

Malamnya, aku habis salat Isya dan bergabung di meja makan dengan umi dan kakak. Mereka ngobrol seru sekali. Ketika aku bergabung, umi ke dapur dan aku makan dengan kakak.

“Tadi ngobrolin apa sih? Seru sekali.”

Kakak tersenyum.

Dulu, usia umi belum menginjak dua puluh saat menikah. Usianya terpaut lima tahun dengan bapak. Selama ini, dia tidak pernah cerita banyak bagaimana mereka bisa menikah. Yang kutahu hanya umi pernah menjadi murid bapak saat mengaji. Nah, setelah itu dekat, lalu menikah. Tamat.

Malam ini, aku lalu tahu beberapa persen dari cerita mereka.

Di awal-awal menikah, bapak punya usaha dan umi di rumah. Usai bekerja, malamnya biasanya bapak mengajar ngaji dan baca kitab-kitab kuning begitu. Setiap berangkat bekerja, bapak selalu menemui umi dan minta izin. Bagaimanapun kondisinya. Pulangnya, juga begitu.

Saudaraku ada banyak, jadi umi begitu repot mengatur rumah dan kenakalan-kenakalan kami. Bapak jadi sering mengajakku si bungsu yang menjadi sasaran kejailan kakak-kakakku yang lain. Waktu kecil diajaknya aku berdagang, mengaji, dan menemani bapak kalau ada tamu. Aku jadi anak yang selalu dibela jika ada pertengkaran.

Ketika kami menginjak usia sekolah, umi setiap pagi repot merapikan baju dan makanan kami. Bapak namun tetap dengan kebiasaannya yang lama. Suatu hari umi sedang di luar rumah dan waktu itu tiba waktunya aku menemani bapak mengaji. Bapak mengambil satu lembar kertas dan pulpen di atas meja dan menuliskan sesuatu. Setelah itu, kami berangkat.

Pulangnya, aku masih melihat kertas itu dengan tulisan bapak yang rapi.

Belum ada ponsel kala itu. Ia menulis surat untuk umi. Mengabarkan kalau ia pergi mengaji. Sudah, itu saja. Bahkan aku tahu, umi tidak sedikit pun menyentuh kertas itu. Hanya melirik.

Dari kecil, apa yang mereka perlihatkan padaku ialah perlakuan-perlakuan yang manis. Mereka menghargai dan memercayai. Dengan memberikan contohnya langsung, aku tahu kalau pria ini punya hati yang lembut. Meski kadang keras padaku, namun ia tidak pernah berkata tidak atas apa yang aku minta, apa yang aku ungkapkan. Begitu juga dengan umi. Semua keluarga tahu kalau dia adalah perempuan bungsu yang keras, sehingga seringlah ia mengomel. Namun semua omelannya, anehnya, itu benar adanya. Jadi, tidak ada yang bisa membantah. Dibalik itu, kasih sayang ibu sepanjang masa, benar adanya pula~.

 

How I Know My Limit

Ada satu masa di saat menangis itu jadi hal yang paling melegakan buat manusia. Seingatku, dua kali yang kualami. Pertama, saat membaca buku linguistik umum untuk UAS semester satu di kampus, kedua, emm sewaktu kelas empat di pondok.

Waktu ikut paskibra di tingkat empat, banyak teman-temanku yang berharap sekali jadi baki. Bawa bendera gitu ya kan, keren. Pasti diinget banyak orang dan diwawancara anak majalah, haha. Awalnya, aku mana kepikiran jadi baki. Daftar paskibra aja dipaksa-paksa. Jadilah latihan-latihan itu kerasa banget capeknya. Tapi pada akhirnya, aku ikutlah ke dalam pusaran mayoritas itu.

Beberapa temenku yang pasukan khusus di pramuka agak kaget setelah tahu aku ikut daftar dan bertahan hingga berminggu-minggu. Mungkin karena dikejar waktu untuk Porseni, maka latihan paskibra sedikit lebih keras dibanding pasus pramuka. Mereka bilang padaku kalau gak kuat ya quit aja. Daripada pingsan, kan. Mereka tuh sebenarnya agak ragu karena fisikku gak terlalu klop sama kegiatan yang begituan. Ditambah lagi sama tenggat waktu tampil, membuat semua anggota juga stres.

Tapi, aku memilih buat stay sampai tinggal menghitung minggu buat tampil porseni. Desas-desus siapa yang akan jadi baki mulai kedengeran pas istirahat latihan. Aku mulai tau kalau baki itu dipilih oleh pelatih utama (secara subjektif ). Sebenernya aku sibuk memikirkan cara agar mukaku gak belang saat porseni nanti. Masih belum nyambung dengan obrolan teman lain, aku dengar namaku disebut-sebut jadi calon baki. Gak tau itu siapa. Lalu kuncup bunga di hatiku mulai mekar, sampai sesak napasku.

Mungkin itu hanya isengan aja karena aku gak mau terlalu berharap jadi baki. Aku mulai menjaga agar rasa senang di hatiku tidak membuatku kegeeran. Kala itu aku berpikir kalau jadi baki pasti akan latihan lebih keras dan makan waktu lebih lama dari biasanya. Well, terlihatlah sekarang gue yang pemalas, haha. Namun, pada suatu hari aku dipanggil sama temenku yang digadang-gadang jadi baki karena dia punya kriteria yang (katakanlah) cukup untuk jadi baki: cantik, putih, tinggi, disiplin, kuat, dan dekat dengan kakak kelas. Ya, dekat dengan kakak kelas, guys. Relasi telah memegang penting dalam dunia ini. Dari hal sekecil ini.

Dia bilang padaku kalau dia latihan lebih keras dari kami semua. Benar kan dugaanku. Lalu dia cerita berbusa-busa dan aku cuma menanggapi seadanya. Bunga yang sudah mekar itu langsung layu dan jatuh. Sampai berguguran.

Sambil menunggu antrean mandi, aku pake masker. Alih-alih agar tidak terlihat pucat saat porseni. Saat mandi, aku cuci muka dua lebih lama dari biasanya. Setelah mandi, aku berlari ke kamar dan menemukan kamar kosong karena teman lain sudah ada di masjid untuk persiapan solat magrib. Di situ cuma ada satu temanku dan dua adek kelas yang lagi datang bulan.

“Baru kelar deh latihannya?”

“Iya.”

“Cape banget kelihatannya.”

Iya, bener banget. Capek. Aku duduk di atas lantai dan mengambil satu bantal dari atas tumpukan kasur. Aku benamkan muka di situ dan mulai senggukan. Temenku bingung lalu menepuk-nepuk pundakku pelan. Sayup-sayup aku denger dia bilang sabar deh, sabar ya. Lah, padahal aku belum cerita apa-apa. Seingetku, aku nangis sampai magrib dan keluar kamar untuk solat magrib jamaah dengan muka kusut dan bengkak. Kujawab saja bangun tidur pada yang bertanya kenapa mukaku bantal begitu.  Malamnya, setelah belajar malam, aku cerita selengkap-lengkapnya pada temenku. Sejelas-jelasnya masalah.

Setelah itu, lega coy.

Kalau kau kecewa akan sesuatu, kalah dengan pikiran dan harapan kau sendiri, beriksplah realistis, dan kalau perlu menangislah. Sampai puas, sampai hati kau lega.

Porseni datang dan kami siap buat bertugas. Aku masih belum pede karena masker itu belum bekerja pada mukaku. Pembimbing paskibranya lalu memeriksa setiap orang dan memoleskan lipstik pink di bibirku. Oke, kau siap. Katanya. Lalu aku jadi percaya diri.

Meskipun akhirnya yang diharap beda dengan yang terjadi, aku bersyukur karena pernah jadi bagian yang keren (menurut versiku tentunya). Aku bersyukur karena aku jadi tahu ukuran kemampuanku dalam hal ini. Mengelola waktu, pikiran, dan tenaga. Sampai pada saatnya aku tahu, untuk perlu juga menjaga diri dan perasaan agar tidak iri pada prestasi orang lain, tetap husnuzhon, dan setia kawan. Yea, it’s mean a lot for me.

 

Ditemani Tulisan @afuadi

blogDulu, masih inget saat kelas empat di Ummul Quro, aku lagi piket malam depan klinik. Waktu itu aku baca novel yang dibawain Teh Nanah pas dijenguk hari Minggunya. Judulnya Negeri 5 Menara. Lumayan tebel sih, tapi aku suka bawa ke mana-mana karena kertasnya wangi. Ya, kertas bukunya wangi, haha. Pas kebagian piket malam shift pertama, dari jam 10, aku belum ngantuk banget makanya mulai ngelanjutin baca novel itu.

Btw, novel pertama Ahmad Fuadi itu nyeritain masa-masa pengarang di pondok Gontor. Isi cerita yang kubaca malam itu persis sekali dengan apa yang aku rasakan malam itu. Kebetulan kali ya^^.  Bedanya, aku piket malam di pondok tahun 2010 dengan suasana pondok yang aman dan damai. Satpam berjaga di depan gerbang 24 jam dan beberapa kali ada ustad-ustadzah berkeliling memeriksa santri. Tidak ada yang istimewa malam itu. Tapi, piket malam si Ahmad Fuadi ini lebih menegangkan ternyata. Gontor sekitar akhir tahun 90-an yang masih sangat asri dengan pepohonan dan lingkungan pesantren, agak menyeramkan menginjak malam. Malam itu, Ahmad Fuadi bercerita kalau ada banyak maling berkeliaran di sana.

Maling ini kadang merampas harta benda di lingkungan pesantren, sampai membuat resah penduduk sekitar karena maling ini kabarnya membawa senjata tajam. Dan sialnya malam itu dia kebagian berjaga dekat sungai yang menyeramkan, karena punya cerita tersendiri di kalangan santri. Beberapa saat kemudian ada sosok yang mencurigakan terlihat  di semak-semak seberang sungai. Karena penasaran, ia panggil orang itu. Orang yang dipanggil itu ternyata maling. Maling itu berlari ketakutan menjauhi sungai dan mengrangsek ke semak-semak. Mendengar teriakan si afuadi tadi, penjaga piket lain beramai-ramai mengejar maling itu melintasi sungai. Beberapa saat kemudian terdengar suara-suara orang menghujat. Maling itu akhirnya tertangkap dan polisi didatangkan malam itu juga ke pesantren untuk membawa maling itu. Aku duduk meringsut ke pojok. Sedikit ngeri karena sudah tengah malam dan aku ingin ke kamar mandi. Sedangkan kamar mandi yang terdekat ada di belakang kamar dekat sungai.

Gaya penceritaan novel itu cukup baik sehingga aku gak sadar kalau waktu piket sudah habis. Bel berbunyi. Sudah jam 1 dinihari dan aku bersiap ke kamar untuk tidur. Aku masih gemetar mengingat bagian cerita itu. Rasa-rasanya aku yang baru saja menangkap maling.

Selain cerita maling itu, satu semangat mimpi yang kuingat dari novel itu. Satu buah kegigihan dan rasa lelah yang kubaca selanjutnya di novel keduanya, ranah 3 warna. Dua novel itu punya kesan tersendiri bagiku, sekaligus pukulan keras bagi hidupku sekarang. 

Usai sekolah di pondok, aku sudah banyak dihadapkan pada berbagai macam bacaan. Di kampus, dosen sastra juga menuntutku agar banyak baca novel dengan beragam latar belakang sosial politik. Mulai dari karya tahun 1910-an hingga karya Abida El-Khaliqi tahun 2000-an, yang kala itu masih segar. Aku mulai tidak menyapa buku afuadi. Padahal ia masih terus menerbitkan buku. 

Lalu, sekarang aku kembali diingatkan olehnya. Oleh semangat mimpi dan lelahnya perjuangan itu. Aku kembali ditarik pada satu malam di kamar rayon Andalusia, di mana ada satu anak perempuan yang begitu terinspirasi dari sebuah cerita dalam novel. Dan sekarang, tahun 2017, aku melihat sosok yang bimbang dan rapuh. Harusnya aku malu. Pada diriku sendiri 7 tahun lalu. 
Jadi ingat bait mahfuzat yg diajarkan alm. ust. As’adi Romli (Allahummagfirlahu) di tahun keempat.

“Saafir tajid ‘iwadhan ‘amman tufaariquhu. Fa i

nna ladzidzal’aisyi finnashabi.”

*artinya sila googling saja ya 🙂