Namanya Jun. Entahlah Jun apa lengkapnya. Dia punya kelainan jiwa yang membuatnya dijauhi oleh orang sekampung. Mungkin lebih kepada ditakuti karena dia suka main pukul kalau marah, atau mengejar-ngejar orang sambil berteriak kasar.
Tapi dia baik sekali kalau penyakitnya tidak kumat. Ia rela membantu apa saja, siapa saja, dan di mana saja. Angkat-angkat barang, membetulkan genteng bocor, membawakan belanjaan ke warung, dan pekerjaan kasar lainnya yang sangat dibutuhkan ibu-ibu di sini.
Waktu kecil, aku pernah menangis hebat gara-gara dia. Aku tengah bermain saat dia ngamuk-ngamuk. Ia melempar-lemparkan batu kecil di lapangan. Anak-anak kecil berlarian, termasuk aku. Tapi, hidungku terkena lemparan batu itu dan berdarah. Aku langsung pulang sambil menangis. Lalu setelah itu, ummi sangat marah padanya. Sejak itu pula, aku takut dan marah, tapi tak berani.
Minggu lalu saat siap-siap berangkat, seorang laki-laki di depan rumah mendekat takut-takut. Badannya yang kurus berjalan terseok sedikit menanjak ke beranda rumah. Kulit gelapnya terlihat kontras dengan matahari pagi yang ia belakangi. Sosoknya itu sudah lama sekali aku kenal. Tangannya tidak bisa diam. Digoyang-goyangkan, dimasukkan ke dalam kantong celana, dan sesekali menggaruk lagi rambut kusutnya.
“Ada Bapak?” Sambil menggaruk-garuk tangan yang aku kira gak gatal, dia menghampiriku.
Aku menunjuk ke dalam rumah sambil nyengir-nyengir. Takut sewaktu-waktu dia menjawil tanganku. Jahil atau apa lah.
Ia lalu masuk ke rumah diiringi senyum umi. Aku gak tau dia ngapain aja di dalam. Tak lama, dia keluar rumah.
“Makasih ya Jun, udah nengok Bapa.”
“Iyah, iya.” Lalu ia pergi. Dia berjalan menjauh dengan langkah ringan.
Kurang dari 5 menit dia di dalam rumah. Aku melihat punggungnya yang kekar-tapi kurus, menjauhi rumahku. Ia berjalan saja. Tanpa menengok lagi.
Pelan-pelan, ada rasa hangat menjalar di dadaku. Merambat sedikit-sedikit sampai membuat bibirku tersenyum. Hangat sekali rasanya.