Ada satu masa di saat menangis itu jadi hal yang paling melegakan buat manusia. Seingatku, dua kali yang kualami. Pertama, saat membaca buku linguistik umum untuk UAS semester satu di kampus, kedua, emm sewaktu kelas empat di pondok.
Waktu ikut paskibra di tingkat empat, banyak teman-temanku yang berharap sekali jadi baki. Bawa bendera gitu ya kan, keren. Pasti diinget banyak orang dan diwawancara anak majalah, haha. Awalnya, aku mana kepikiran jadi baki. Daftar paskibra aja dipaksa-paksa. Jadilah latihan-latihan itu kerasa banget capeknya. Tapi pada akhirnya, aku ikutlah ke dalam pusaran mayoritas itu.
Beberapa temenku yang pasukan khusus di pramuka agak kaget setelah tahu aku ikut daftar dan bertahan hingga berminggu-minggu. Mungkin karena dikejar waktu untuk Porseni, maka latihan paskibra sedikit lebih keras dibanding pasus pramuka. Mereka bilang padaku kalau gak kuat ya quit aja. Daripada pingsan, kan. Mereka tuh sebenarnya agak ragu karena fisikku gak terlalu klop sama kegiatan yang begituan. Ditambah lagi sama tenggat waktu tampil, membuat semua anggota juga stres.
Tapi, aku memilih buat stay sampai tinggal menghitung minggu buat tampil porseni. Desas-desus siapa yang akan jadi baki mulai kedengeran pas istirahat latihan. Aku mulai tau kalau baki itu dipilih oleh pelatih utama (secara subjektif ). Sebenernya aku sibuk memikirkan cara agar mukaku gak belang saat porseni nanti. Masih belum nyambung dengan obrolan teman lain, aku dengar namaku disebut-sebut jadi calon baki. Gak tau itu siapa. Lalu kuncup bunga di hatiku mulai mekar, sampai sesak napasku.
Mungkin itu hanya isengan aja karena aku gak mau terlalu berharap jadi baki. Aku mulai menjaga agar rasa senang di hatiku tidak membuatku kegeeran. Kala itu aku berpikir kalau jadi baki pasti akan latihan lebih keras dan makan waktu lebih lama dari biasanya. Well, terlihatlah sekarang gue yang pemalas, haha. Namun, pada suatu hari aku dipanggil sama temenku yang digadang-gadang jadi baki karena dia punya kriteria yang (katakanlah) cukup untuk jadi baki: cantik, putih, tinggi, disiplin, kuat, dan dekat dengan kakak kelas. Ya, dekat dengan kakak kelas, guys. Relasi telah memegang penting dalam dunia ini. Dari hal sekecil ini.
Dia bilang padaku kalau dia latihan lebih keras dari kami semua. Benar kan dugaanku. Lalu dia cerita berbusa-busa dan aku cuma menanggapi seadanya. Bunga yang sudah mekar itu langsung layu dan jatuh. Sampai berguguran.
Sambil menunggu antrean mandi, aku pake masker. Alih-alih agar tidak terlihat pucat saat porseni. Saat mandi, aku cuci muka dua lebih lama dari biasanya. Setelah mandi, aku berlari ke kamar dan menemukan kamar kosong karena teman lain sudah ada di masjid untuk persiapan solat magrib. Di situ cuma ada satu temanku dan dua adek kelas yang lagi datang bulan.
“Baru kelar deh latihannya?”
“Iya.”
“Cape banget kelihatannya.”
Iya, bener banget. Capek. Aku duduk di atas lantai dan mengambil satu bantal dari atas tumpukan kasur. Aku benamkan muka di situ dan mulai senggukan. Temenku bingung lalu menepuk-nepuk pundakku pelan. Sayup-sayup aku denger dia bilang sabar deh, sabar ya. Lah, padahal aku belum cerita apa-apa. Seingetku, aku nangis sampai magrib dan keluar kamar untuk solat magrib jamaah dengan muka kusut dan bengkak. Kujawab saja bangun tidur pada yang bertanya kenapa mukaku bantal begitu. Malamnya, setelah belajar malam, aku cerita selengkap-lengkapnya pada temenku. Sejelas-jelasnya masalah.
Setelah itu, lega coy.
Kalau kau kecewa akan sesuatu, kalah dengan pikiran dan harapan kau sendiri, beriksplah realistis, dan kalau perlu menangislah. Sampai puas, sampai hati kau lega.
Porseni datang dan kami siap buat bertugas. Aku masih belum pede karena masker itu belum bekerja pada mukaku. Pembimbing paskibranya lalu memeriksa setiap orang dan memoleskan lipstik pink di bibirku. Oke, kau siap. Katanya. Lalu aku jadi percaya diri.
Meskipun akhirnya yang diharap beda dengan yang terjadi, aku bersyukur karena pernah jadi bagian yang keren (menurut versiku tentunya). Aku bersyukur karena aku jadi tahu ukuran kemampuanku dalam hal ini. Mengelola waktu, pikiran, dan tenaga. Sampai pada saatnya aku tahu, untuk perlu juga menjaga diri dan perasaan agar tidak iri pada prestasi orang lain, tetap husnuzhon, dan setia kawan. Yea, it’s mean a lot for me.