Ada beberapa alasan kenapa akhirnya aku menuliskan ini di blog. Sebagai mahasiswa sastra dan bahasa, agaknya peristiwa penghinaan agama melalui karya sastra sedikit menggelitik.
Di sini, aku gak akan membahas banyak tentang siapa itu Sukmawati dan bagaimana dia dilaporkan karena puisinya. Karena kawan-kawan pasti sudah membaca dan mendengar itu semua dari media yang lebih valid dan informatif. Tapi, aku hanya akan membahas sedikit saja dari sudut pandangku.
Pelaporan mengenai kasus penghinaan agama melalui karya sastra sebenarnya, ya, sebenarnya pernah terjadi pada tahun 1968. Cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang ditulis oleh Ki Panji Kusmin menjadi sangat viral saat itu karena mengisahkan peristiwa Nabi Muhammad yang bermi’raj kembali. Ki Panji Kusmin di sini melibatkan tokoh tuhan, malaikat jibril yang sudah tua, dan buroq yang menjadi tunggangannya. Cerpen ini lalu banyak mendapat protes dari masyarakat muslim. Karena dianggap telah menghina Islam karena menggambarkan sosok tuhan dengan semena-mena dan isi ceritanya yang tidak sesuai akidah Islam.
Kemudian, pada akhirnya, redaktur majalah tersebut, H.B. Jassin, diadili dan dikenai hukuman beberapa tahun karena tidak mau mengungkap identitas Ki Panji Kusmin. Sebagai ketua redaksi, ia bertanggungjawab penuh atas tulisan di majalahnya dan melaksanakan hukuman.
Pembacaan puisi oleh ibu Sukmawati beberapa waktu lalu gempar. Karena kepo, aku membuka video pembacaan puisi itu. Beberapa kalimat memang menyebutkan kosakata-kosakata yang “identik” dengan Islam.
Aku mulai memperhatikan bagaimana isi keseluruhan puisi itu. Jika disimak sekilas, mungkin muslim yang membacanya akan merasa terhina karena Ibu Sukmawati membandingkan sesuatu yang duniawi dengan sebuah kepercayaan manusia, agama. Sedangkan, bagi sebagian orang, agama adalah sesuatu yang absolut. Mutlak.
Karena Indonesia memiliki Islam sebagai agama mayoritas penduduknya, maka hebohlah kita. Aku tak tahu, dan tidak ada yang tahu apa maksud persis dan niatan ibu Sukmawati memilih kosakata demikian. Mungkin, karena media puisi adalah media yang sangat bebas. Di mana sebuah diksi bisa bermakna ganda. Di mana kosakata diobral sehingga kau dapat memoles sebuah kalimat dengan kata-kata puitis. Namun balik lagi, ini bukan masalah puitis atau tidak, ini menyangkut agama. Dan itulah yang membuatku kecewa. Mengapa unsur agama menjadi perhatian yang sangat besar di sini.
Kita butuh untuk tidak memisahkan unsur-unsur yang ada di dalam puisi ke dalam fungsi lain. Fungsi puisi sebagai kata-kata indah, yang menyenangkan pembacanya, dulce et utile.
Ketika kita memisahkan fungsi menyenangkan dan bermakna sebuah puisi, maka puisi itu tidaklah lebih dari kalimat-kalimat biasa. Yang menjadikannya indah yaitu polesan kosakatanya dan pilihan diksinya.
Taufiq Ismail pernah bilang bahwa dengan hanya membaca secara parsial, itu hanya akan membuat konflik. Jika hanya dilihat dari segi akidah, semua cerita akan menjadi sumber masalah.
Pada akhirnya, apakah kita akan mengkonsumsi informasi secara parsial saja?
Kita belum melibatkan ahli dan membicarakannya dalam satu ruangan sekali duduk. Tidak perlu di meja pengadilan, cukup di tempat ngopi saja. Meskipun sekarang ibu Sukmawati sudah meminta maaf secara resmi, didampingi MUI pula, namun hal-hal semacam ini tidak mungkin tidak terulang. Mengingat, budaya memfilter informasi sangat lemah di Indonesia.
Mungkin kita sudah memiliki orang yang berkompeten di Indonesia dalam hal kritik-mengkritik sastra. Namun, tempat mereka belum banyak sehingga yang muncul mendominasi di media ialah suara orang-orang yang kontra sedang demo.
Aku kecewa karena video yang banyak beredar adalah video editan yang hanya menampilkan cuplikan pembacaan puisi Ibu Sukmawati dalam beberapa kalimat sahaja. Meski banyak juga mungkin yang menampilkan keseluruhan puisi, kukira jarang sekali.
Aku tidak berniat menggeneralisir kasus-kasus semacam ini, karena dua peristiwa itu terjadi dalam rentang waktu yang sangat jauh. Namun, ada persamaan-persamaan hal yang kukira berulang di sini: sangat mudah menghakimi sesuatu.
Apakah muslim di Indonesia dapat sangat mudah melakukan aksi tanpa tahu duduk perkaranya. Karya sastra adalah media yang sangat bebas. Sangat bebas. Jika dulu opini-opini dilarang kolonial karena dianggap membuat propaganda penggerak kemerdekaan, maka mereka bergerak dengan sastra. Jika sudah banyak laporan penghinaan agama bersumber dari karya sastra, maka matilah negara ini dari dulu. Well, memang sekarang sudah bukan lagi masa kolonial. Tapi, ngerti kan yang kumaksud? ~
Semoga saja, di tahun-tahun berikutnya, di mana media makin mengganas, orang-orang makin kritis mengkritik, dan gawai menjadi senjata paling mematikan, terdapat kritikus yang solutif dan, tentu, nasionalis. Agar hal-hal seperti ini tidak terulang, konflik agama tidak terjadi lagi, dan toleransi bukan sekadar materi dalam buku PPKn.
Pada akhirnya lagi, semua opini, semua suara, semua sudut pandang, kembali ke diri kita lagi. Siapa kita? Di mana kita menempatkan diri? Agamawan? Liberalis? Kritikus? You make the point, then.